Breaking News

Mencari Akar di Tengah Arus: Seni Pertunjukan dan Krisis Makna Budaya

Seminar Seni Pertunjukkan yang digelar Nan Jombang Dance Festival.

 

 Oleh: ARMUNADI, Pengamat Seni Pertunjukkan

Di tengah derasnya arus globalisasi dan fragmentasi sosial budaya, seni pertunjukan tak jarang terombang-ambing antara tuntutan estetika modern dan kerinduan akan akar tradisi. Ia menjadi panggung di mana keraguan, kegelisahan, dan harapan berkelindan. Dan pada 14 Mei 2025 lalu, Auditorium FBS Universitas Negeri Padang menjadi ruang artikulatif bagi kegelisahan itu dalam Seminar Seni Pertunjukan—bagian dari rangkaian Kaba Festival X. 

Dibuka oleh Angga Mefri—Direktur Festival dan penggerak Nan Jombang—semangat “Penggila Proses” terasa kuat. Lebih dari sekadar perhelatan akademik, seminar ini adalah ruang pertukaran gagasan yang jujur, terbuka, kadang getir, tetapi sangat dibutuhkan. 

Sesi pertama mengupas bagaimana seni pertunjukan bukan sekadar medium ekspresi, melainkan juga cermin transformasi sosial. Prof. Indrayuda, Dr. Roza Muliati, dan Armeyn Sufhasril, dengan moderasi Dr. Andria C. Tamsin, membedah dinamika sosial Sumatera Barat melalui lensa pertunjukan. Pergeseran nilai, perubahan struktur masyarakat, serta tantangan modernisasi tampak memengaruhi bukan hanya bentuk, tetapi juga makna dari seni itu sendiri. 

Seni pertunjukan hari ini, sebagaimana dicatat Indrayuda dalam makalahnya, telah bergeser dari ekspresi kolektif menjadi simbol status. Tari galombang yang dahulu milik masyarakat kini tampil megah dalam hajatan kaum menengah kota—mempertegas jurang sosial yang makin nyata. Sementara itu, seni kontemporer yang kritis dan eksperimental justru berumah di ruang akademik, menjauh dari masyarakat awam. Sebuah “segregasi seni” pun lahir—mencerminkan stratifikasi sosial kita hari ini. 

Namun seni, dalam pandangannya, tak pernah benar-benar mati. Yang tampak seperti kematian kerap kali hanyalah bentuk adaptasi terhadap zaman. Komodifikasi, hibridisasi, dan kompromi estetika adalah realitas yang harus ditempuh demi keberlangsungan. 

Makalah Dr. Roza Muliati membuka lapisan lain dari seni pertunjukan: tubuh perempuan dan perlawanan terhadap hegemoni budaya. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal, ironisnya, tari dahulu didominasi laki-laki. Tubuh perempuan dianggap tabu untuk bergerak di ruang publik seni. 

Namun sejak awal abad ke-20, muncul pergeseran seiring masuknya nilai-nilai modern. Sosok seperti Hoerijah Adam menjadi simbol transformasi: membawa gerak silek, simbol kampung, ke panggung kota. Ia menabrak norma dominan, dan dengan itu membuka ruang baru bagi ekspresi tubuh perempuan Minangkabau. 

Roza memancing refleksi: ketika perempuan Minang menari seperti laki-laki, adakah itu bentuk kebebasan atau justru lahirnya norma baru? Ketika tubuh menendang, melompat, mengangkang di panggung—gerakan yang dulunya hanya milik tubuh laki-laki—apakah ini benar-benar perlawanan, atau justru pengulangan dominasi dalam wajah baru? 

Dalam diskusi yang berlangsung hingga sore, muncul satu kutipan tajam dari Prof. Indrayuda: “Di Minangkabau, seni lebih sebagai permainan daripada ritual. Tidak seperti di Jawa.” Sekilas ringan, tapi menyentuh persoalan karakter budaya. Di Minangkabau, seni memang tumbuh dalam ruang sosial yang terbuka dan adaptif. Tapi adaptabilitas itu juga menyimpan risiko: kerap lemah dalam merawat akar. 

Ketika seni dipentaskan sebagai produk tontonan, bukan bagian dari ritus sosial, maka ia rawan tercerabut dari konteks budaya yang melahirkannya. Maka, pertanyaannya bukan sekadar tentang bentuk seni, tetapi tentang kesadaran akan nilai dan makna yang dikandungnya. 

Salah satu intervensi paling menggugah datang dari Suhendri—pegawai Taman Budaya dan seorang datuk penghulu. Dalam forum diskusi ia bertanya: “Bagaimana seniman sendiri memainkan perannya dalam membangun ekosistem kesenian?” 

Pertanyaan ini menohok. Dalam banyak narasi, seniman dituntut menjadi penjaga budaya, tapi dalam kenyataan, mereka kerap terjebak dalam perjuangan hidup yang getir. “Seniman sering kali sibuk memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup,” kata seorang narasumber. Maka seminar, panggung, dan wacana tak cukup jika tak dibarengi dukungan struktural dan jejaring yang hidup. 

Armeyn Sufhasril menyimpulkan dengan sangat jernih: membangun ekosistem seni bukan hanya soal dana atau lembaga, tetapi pemulihan relasi antara seniman dan masyarakatnya. 

Melati Suryodarmo menutup sesi dengan kesaksian personal yang menyentuh. Meski besar dalam disiplin seni Eropa, ada kerinduan mendalam pada kampung halaman. Ia mengingatkan bahwa teori seni Barat lahir dari pengalaman hidup masyarakat Barat—dan tak selalu relevan bagi kita. Ketika seni tercerabut dari akar sosialnya, ia menjadi asing dan eksklusif.  

Ia berkata: “Kita sudah kebablasan menyanjung teori-teori Barat. Tapi itu bukan jiwa kita.” Seni kita, jika ingin bertahan, harus kembali ke jiwanya sendiri: tumbuh dari masyarakat, merespons kehidupan nyata, dan hadir sebagai ruang hidup bersama. 

Seminar ini tak menawarkan kesimpulan, tapi membuk jalan. Jalan untuk meninjau ulang relasi kita dengan seni, dengan masyarakat, dan dengan sistem kebudayaan. Seni pertunjukkan di Sumatera Barat adalah hasil sejarah panjang --negosiasi antara tradisi, modernitas, kekuasaan, dan pasar.

Tetapi seni juga bisa menjadi kekuatan yang menyatukan, memperdalam rasa, dan mengingatkan siapa kita. Sebab, sebagaimana dikatakan Melati; "Kita bisa menjelajah ke mana saja, tapi jiwa kita tetap akan rindu pulang."


© Copyright 2022 - AjarDetik's.com | SELARAS DENGAN KEADILAN DAN KEBENARAN