Breaking News

(Bagian Ketiga) Diskusi Emeritus Club: Mantan Kepala Daerah Bisa Jadi Bagian Peradaban Demokrasi yang Sehat

 

Diskusi Emeritus Club di Katagiaan Resto, Padang.
 

Oleh YURNALDI

 

 PADANG, AJARDETIKS.COM – Sebelum masuk ke diskusi terbatas dengan narasumber Gamawan Fauzi, mantan Bupati Solok, mantan Gubernur Sumatera Barat, dan mantan Menteri Dalam Negeri , para peserta sempat bincang-bincang lepas. Juga dengan narasumber Hasril Chaniago, wartawan senior mantan Pemimpin Redaksi Koran Mimbar Minang.

Marlis yang mantan wakil rakyat selaku inisiator untuk diskusi Emeritus Club mengatan, sungguh menarik membahas bagaimana posisi mantan kepala daerah setelah mereka tak lagi menjabat. Karena banyak yang masih punya kapasitas, punya pengalaman, bahkan jejaring yang luas. “Tapi jarang yang dimanfaatkan  secara strategis,” ulasnya.

Gamawan malah melihat kecenderungannya mereka seperti kehilangan peran. Padahal, dalam banyak kasus, mereka bisa jadi konsultan kebijakan atau penggerak inisiatif lokal yang baru.

Sementara Jasman Rizal, penasehat politik dan mantan penjabat wali kota Payakumbuh, mengakui tantangannya itu. Banyak mantan kepala daerah yang terjebak dalam power syndrome. “Masih ingin tampil sebagai pusat perhatian, bukan sebagai mitra stretgis,” ujarnya.

Karena itu menurut Marlis perlu ruang yang tepat. Forum, tulisan, atau bahkan lembaga yang mewadahi peran mantan kepala daerah ini supaya tetap produktif, tanpa harus bersaing dengan pejabat aktif.

“Kalau saya melihat, ada banyak sekali potensi yang belum dimanfaatkan dari para mantan kepala daerah. Kita bicara bukan hanya soal mereka sebagai individu,tapi juga akumulasi pengalaman mereka dalam mengelola pemerintahan daerah,” jelas Marlis.

Ade Edward  menimpali, “Betul, mereka sudah melewati proses panjang, tahu medan, tahu bagaimana birokrasi berjalan, tahu strategi membangun daerah. Tapi setelah pensiun atau kalah dalam pilkada, peran mereka seperti terhenti.”

Politikus Sam Salam mengatakan, hal inilah yang sebenarnya menjadi pertanyaan kita semua. “Apa yang bisa dilakukan supaya mereka tetap punya ruang kontribusi yang positif? Karena tidak sedikit juga yang kemudian balik arah ke politik praktis, bajkan jadi pengganggu.”

Menurut Marlis, di sinilah pentingnya forum-forum diskusi atau lembaga yang bisa mewadahi itu. Kalau mantan pejabat tinggi pusat saja punya forum-forum, kaenapa daerah ndak dibuatkan juga.

Atau, kata Sastri Bakry yang juga mantan pejabat di Kemendagri dan sekarang Ketua DPD Satu Pena Sumatera Barat, bisa dimulai drai tradisi menulis, membagikan pengalaman dan gagasan. “Bukan cumamenunggu diminta tampil di acara-acara seremonial,” tukasnya.

Masalahnya, tidak semua mereka terbiasa menulis. Tapi kalau kita fasilitasi, bisa dengan pendampingan, bisa lewat jurnalis atau tim penulis. Itu bisa diatasi.

Menurut Marlis, kita juga harus jujur, ada juga yang memang masih belum move on. Masih merasa punya kekuasaan, ingin terus mengatur. Padahal, masalahnya sudah lewat. Itu yang bikin orang enggan libatkan mereka.

“Itu yang disebut dengan power syndrome, kan. Nah, bagaimana kita bisa bedakan antara yang memang masih punya kapasitas dan niat baik untuk membantu, dengan yang cuma ingin tetap eksis,” ujarnya. “Saya kira harus dari niat awalnya dulu. Kalau ada yang mau benar-benar berkontribusi, mereka akan terbuka untuk ditempatkan sebagai pemikir, bukan pengatur.”

Menurut Gamawan Fauzi, “Kalau kita lihat ke negara lain, seperti di Eropa atau Jepang, para mantan kepala Daerah atau pejabat publik itu biasanya masuk ke kembaga think tank. Mereka jadi penasehat strategis, bukan politisi lagi.”

Hasril Chaniago menimpali, bahwa hal itu benar. “Dan dari istu merela tetap dihargai bahkan tetap berpengaruh. Tapi pengaruhnya bukan dalam bentuk kekuasaan langsung, melainkan lewat ide dan gagasan.”

Menurut Jasman, kita ini kadang terlalu mempersonalisasi jabatan. Jadi gegitu jabatan selesai, seolah eksistensinya juga selesai. Padahal, kapasitasmuya masih ada.

Makanya, kata Marlis, kita perlu dorong perubahan cara pandang juga. Bahwa selesai menjabat bukan selesai berkontribusi, Bahkan justru saat itulah bisa lebih obyektif dan jernih melihat persoalan.

Apalagi, kata Sastri, kalau mereka menulis, merekam pengalaman dalam buku, jadi narasumber di media, itu bisa sangat mempercepat diskursus publik.

“Saya masih membayangkan bisa dibuat seperti serial, misalnya “Catatan Mantan Bupati, atau “Refleksi Seorang Gubernur”. Itu bisa jadi catatan penting untuk penerus birokrat muda.

“Betul” kata Marlis. “Dan bisa juga jadi bahan evaluasi publik. Mayarakat bisa tahu proses di balik layar sebuah kebijakan, tantangan yang dihadapi, dan kenapa sebuah keputusan diambil.”

Sebenarnya, peran ini juga bisa membantu kepala daerah yang sedang aktif. Jadi semacam mentor atau tempat diskusi. Karena kadang kepala daerah baru itu butuh sparring partner yang mengerti lapangan.

Ini tentu bukan dalam rangka intervensi. Tetapi sebagai penasehat informal. Kalau jalurnya jelas, tidak tumpang tindik, itu akan sangat membantu pemerintahan.

“Dan itu bisa disalurkan secara resmi lewat forum-forum daerah. Misalnya asosiasi mantan kepala daerah, atau dewan penasehat kebijakan daerah,” jelas Marlis.

Masalahnya sekarang belum ada struktur atau mekanisme yang resmi untuk itu. Jadi akguirnta tergantung kedekatan personal saja. Dan itu tidak sehat dalam rangka panjang.

Kalau sudah dibentuk secara kelembagaan, malah bisa difasilitasi untuk bikin rekomendasi kebijakan secara berkala. Itu bisa jadi masukan berharga bagi pemerintah pusat maupun daerah.

Apalagi kata Marlis, kalau isinya mantan-mantan yang punya integritas dan pengalaman nyata. Bukan sekadar tokoh-tokohan. “Kalau ini kita dorong terus, bisa jadi ekosistem baru. Mantan kepala daerah bisa jadi bagian dari peradaban demokrasi yang sehat sehat.”

Menurut  Sastri penting juga menggandeng media. Karena media bisa bantu mempublikasikan gagasan-gagasan para mantan kepala daerah ini.

Bisa dalam bentuk opini, wawancara, bahkan podcast atau video pendek. Yang penting ada saluran komunikasi yang sehat.                                                                        

Kembali ke paparan narsumber.

Gamawan sempat membuka pembicaraan dengan pengalaman ketika pulang ke Padang dari Jakarta lewat darat, lintas tengah Sumatera. Pulang kampung dengan bus selain untuk melihat pembangunan di sepanjang perjalanan, juga melihat dinamika kehidupan masyarakat.

Gamawan Fauzi dan Bupati Dharmasraya Annisa Suci Ramadhani. (Foto MArlis)

Catatan perjalanan itu, pernah ditulis Gamawan di media massa. Catatan tersebut sangat menatik untuk dicermati pembaca. Ada pengalaman, ada gagasan, dan sebagainya. “Ketika bus berhenti untuk makan, saya kaget ketika mau membayar, kasir mengatakan sudah dibayar seseorang tadi. Saya tak tahu siapa orang itu. Alhamdulillah, sebagian besar penumpang mengenali saya dan minta berfoto,” ujarnya.

Intermezo yang diungkapkan Gamawan itu, setidak-tidaknya menegaskan bahwa orang mengenal kita karena mungkin banyak hal baik yang kita lakukan dan dirasakan masyarakat, saat kita diberi amanah untuk memimpin.

Tentang kepemimpinan Gamawan sebagai bupati Solok dan kemudian Jadi Gubernur Sumatera Barat. Belum tuntas jadi Gubernur, Gamawan pun dipercaya jadi Menteri Dalam Negeri. Sebuah kepercayaan yang diluar dugaan banyak pihak. Sebab selama ini Mendagri selalu dari unsur militer.

Gamawan selalu memberikan banyak kontribusi pemikiran, gagasan dan sejumlah terobosan dalam praktik pemerintahan. Palayanan satu pintu, misalnya, Kabupaten Solok adalah pelopor di Indonesia dan kemudian menjadi contoh baik yang ditiru secara nasional.  Tentang itu, banyak pembaca sudah tahu dan tak perlu dipaparkan lagi.

Ada hal-hal positif lain yang sempat juga dikerjakan bersama Menpan, untuk kepentingan Presiden, masa SBY. Soal gaji Presiden yang mengurus negara jauh lebih kecil dari gaji seorang Direktur Utama BUMN. “Bagaimana mungkin gaji Presiden yang puluhan juta, sementara gaji pejabat BUMN miliaran rupiah,” jelas Gamawan.

Karena karena Presiden SBY lambat merespon dan itu diakhir masa jabatan SBY, Gamawan menolak menandatangani. Sebab itu akan berdampak buruk bagi SBY, kecuali ditandatangani enam bulan sebelum masa jabatan berakhir.

Banyak gagasan lain yang dilakukan Gamawan semasa diberi amanah jadi mendagri, termasuk bagaimana membekali kepala daerah baru selama satu bulan untuk menyamakan visi membangun daerah, membangun bangsa. Bukan retread yang hanya beberapa hari seperti sekarang.

Okelah, itu sisi lain. Mungkin kalau yang dilakukan Gamawan itu dilanjutkan oleh Mendagri sekarang, tak ada salahnya.

Gamawan walaupun kini terjun ke dunia bisnis, ia tetap punya perhatian ke dunia pemerintahan. Gamawan menilai, selama ini kita bergangtung pada pemerintah. Coba hal ini diubah.

“Di Indonesia yang bergerak di sektor swasta tak sampai 5 persen. Paradigma pemerintah kita sangat lambat merespon. Coba cermati APBN/APDB. Sebesar 62 persen dari APBD adalah biaya (belanja) pegawai. Sementara 92 persen rakyat dibiayai dengan 38 persen anggaran. (BERSAMBUNG bagian keempat)

 

 

 

© Copyright 2022 - AjarDetik's.com | SELARAS DENGAN KEADILAN DAN KEBENARAN