Breaking News

Dari Peluncuran Buku "Restrospeksi Gekanggang Tari Sumatera": Panggung yang Menunggu Nama

 Peluncuran dan Bedah Buku Restrospeksi Kaba Festival

Keterangan tidak tersedia.Peluncuran dan Bedah Buku Restrospeksi Kaba Festival

 
Oleh: ARMUNADI
 
Tidak semua warisan hadir dalam bentuk selebrasi. Ada yang diwariskan dalam bentuk keheningan. Seperti sebuah panggung kosong yang tak ditinggalkan, tapi sedang disiapkan — entah untuk siapa.
Peluncuran buku Retrospeksi Gelanggang Tari Sumatera, Padang Bagalanggang, dan KABA Festival (1988–2025) menjadi bukan hanya perayaan sejarah, tapi semacam gema batin yang memanggil pertanyaan: setelah ini, siapa yang akan berdiri di panggung itu?
 
Panggung telah diciptakan, ruang telah dibuka, sejarah telah ditulis. Tapi pada baris-baris terakhir catatan editorial, terasa ada jeda — bukan sebagai penutup, melainkan sebagai undangan.
Ia tidak membangun dari kemenangan. Ia memulai dari luka. Peristiwa Gelanggang Tari Sumatera 1988 bukan sekadar arsip, melainkan retakan batin dunia pertunjukan Sumatera Barat. Dari retakan itu, Ery Mefri tidak mundur — ia justru menggali lebih dalam, dan membentuk ruang baru: Padang Bagalanggang, lalu KABA Festival.
 
Dalam sambutannya pada peluncuran buku retrospektif itu, ia tak merinci kesulitan atau menuntut pengakuan. Tapi jika kita bisa menyusun diamnya ke dalam kalimat, mungkin yang terdengar adalah:
“Kita membangun dari luka, tapi tidak mau terus tinggal di luka itu.”
 
Demikian kira-kira raungan sunyi yang terbaca dari tubuh kerja Ery Mefri — bukan hanya sebagai koreografer, tapi sebagai arsitek ruang, pembaca waktu, dan penyulam hubungan antar generasi.
Hari ini, Sumatera Barat memiliki dua wajah panggung yang aktif:
- Festival Tanggal 3, ruang eksperimen bulanan yang sejak 2014 memberi tempat pada seniman muda untuk mencoba, jatuh, dan bangkit.
- KABA Festival, ruang kurasi yang mempertemukan karya unggulan dengan penonton dari dalam dan luar negeri.
 
Dua panggung ini tidak berdiri begitu saja, mereka muncul dari keyakinan bahwa ekosistem bisa dibangun—bahkan jika tak ada pendukung struktural di awalnya.
Namun dalam catatan penutup buku, Indra Utama menulis jujur:
“Hingga hari ini, belum muncul koreografer muda dari Sumatera Barat yang tampil konsisten di panggung nasional.”
 
Sebuah pernyataan yang tidak mencela, tapi menunjukkan bahwa jalan masih panjang. Panggung telah terbuka, tapi nama-nama muda belum betul-betul mengisinya dengan kehadiran penuh.
Masalahnya bukan pada keberadaan tokoh. Masalahnya adalah pada sistem yang tidak disiapkan untuk berjalan tanpa tokoh.
 
 Keterangan tidak tersedia.Penulis Armunadi dan DIrektur Festival Angga Mefri.
 
Ery Mefri telah menjadi ekosistem itu sendiri — mencipta, membuka ruang, mendidik, menyusun festival, mengarsipkan. Tapi regenerasi tak bisa terus bertumpu pada satu poros.
Ia membutuhkan jembatan: a) Mentoring yang berlapis, 2) Strategi artistik dan manajerial yang terukur
3) Kurasi yang menengok proses, bukan sekadar hasil.
 
Festival Tanggal 3 telah memberi ruang, tetapi ruang tanpa jalur transisi tetap akan menyulitkan siapa pun yang ingin melangkah ke panggung berikutnya.
 
Ery Mefri menyebutkan bahwa dana abadi Indonesiana kini telah mencapai Rp10 triliun. Angka yang memukau, dan dalam logika kebijakan seharusnya cukup untuk menopang regenerasi dunia pertunjukan secara nasional.
 
Namun ironi tak datang dari besaran dana, melainkan dari ketiadaan rumah.
Gedung pertunjukan utama Taman Budaya Sumatera Barat telah dibongkar. Janji pembangunan ulang belum terealisasi. Akibatnya, puluhan kelompok kehilangan tempat latihan, ruang diskusi, dan kesempatan menyapa publik.
 
Dana ada, tapi ruang hilang. Kebijakan hadir, tapi infrastruktur menepi. Dan regenerasi tak akan pernah tumbuh dalam ruang yang terus berpindah-pindah.
 
Jika hari ini para koreografer muda belum banyak yang naik ke panggung besar, bukan berarti mereka tak mampu. Bisa jadi karena mereka tidak merasa punya hak atas panggung itu.
 
Sebuah festival yang lahir dari cita-cita pembebasan harus bisa menjadi tempat peralihan, bukan hanya penyaringan. Kurator perlu membuka mata terhadap proses, bukan hanya hasil akhir. Ruang pendampingan perlu bersifat lintas generasi, bukan hanya apresiasi satu arah.
 
KABA Festival memiliki reputasi dan legitimasi. Tapi tanpa fungsi pembibitan yang nyata, ia akan lebih banyak menyimpan karya, bukan menyemai generasi.
 
Manajemen kebijakan pembinaan kesenian kita kini berada di simpang penting: apakah akan terus menjadi ruang yang merayakan jejak masa lalu semata, atau akan dimatangkan fungsinya sebagai landasan regenerasi kolektif?
 
Karena di lapangan, para pelaku sudah melangkah. Ery Mefri, misalnya, tak hanya membuka panggung bagi sesama generasi, tapi juga memberi kepercayaan penuh pada yang muda — bahkan yang belum selesai kuliah.
 
Maka kini, giliran ekosistem yang diuji: apakah ia cukup lentur untuk menampung kemunculan baru, dan cukup rendah hati untuk menyambut proses yang belum selesai

© Copyright 2022 - AjarDetik's.com | SELARAS DENGAN KEADILAN DAN KEBENARAN