Selat Hormuz.
JAKARTA, ALINIANEWS.COM - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali mengemuka, setelah konflik bersenjata antara Iran dan Israel memanas sejak akhir 2023. Ketegangan ini diperparah oleh serangan rudal balasan dan aksi milisi-milisi proksi Iran dari Hizbullah, Houthi, hingga kelompok Syiah di Suriah dan Irak.
Salah satu risiko paling krusial dari konflik di Timur Tengah ini adalah kemungkinan terganggunya jalur vital Selat Hormuz, yang merupakan pintu keluar bagi lebih dari 20 persen pasokan minyak dunia. Dampak langsung dari gejolak ini tentu akan terasa di banyak negara, termasuk Indonesia.
Indonesia masih sangat tergantung pada impor energi, khususnya minyak. Data Kementerian ESDM tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 60 persen kebutuhan minyak nasional dipenuhi dari impor, dengan sebagian besar berasal dari kawasan Teluk Persia atau Timur Tengah.
Ketika konflik di Timur Tengah mengancam keberlangsungan pelayaran di Selat Hormuz, harga minyak global merespons cepat. Harga minyak mentah jenis Brent sempat menembus US$90 per barel pada akhir 2023 dan berpotensi melonjak hingga US$130 jika konflik meningkat dan jalur pelayaran terganggu total.
Kenaikan harga minyak ini menjadi pukulan ganda bagi Indonesia. Pertama, nilai subsidi energi akan membengkak. Pada tahun 2023, anggaran subsidi energi mencapai Rp339 triliun. Jika harga minyak naik 10 persen, beban subsidi bisa bertambah sekitar Rp30–50 triliun tergantung pada volume konsumsi.
Kedua, harga BBM dalam negeri akan mengalami tekanan untuk naik. Jika tidak dinaikkan, maka APBN akan semakin tertekan. Sebaliknya jika dinaikkan, maka inflasi akan terdongkrak dan daya beli masyarakat terganggu.
Kenaikan harga BBM biasanya memicu inflasi yang merambat ke sektor lain. Data BPS menunjukkan bahwa kontribusi energi terhadap inflasi nasional mencapai 25 persen dalam struktur indeks harga konsumen (IHK). Maka jika harga BBM naik 20 persen, inflasi bisa melonjak hingga lebih dari 5 persen secara tahunan. Ini akan menekan konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi kontributor utama PDB Indonesia (sekitar 54 persen).
Krisis ini juga berdampak pada nilai tukar rupiah. Saat konflik meningkat dan ketidakpastian global membesar, investor global cenderung menarik dananya dari negara berkembang dan kembali ke aset aman, seperti dolar AS.
Hal ini menyebabkan rupiah tertekan. Pada puncak konflik awal 2024, rupiah sempat menyentuh Rp15.900 per dolar. Setiap depresiasi Rp100 terhadap dolar AS menambah biaya impor energi sebesar Rp1,5–2 triliun.
Dalam konteks perdagangan internasional, gangguan di Selat Hormuz bisa menyebabkan kapal pengangkut energi dan barang harus mencari rute alternatif yang lebih jauh, seperti mengitari Tanjung Harapan di Afrika. Hal ini akan meningkatkan ongkos logistik global. Bagi Indonesia, yang juga mengimpor barang dari Eropa dan Timur Tengah, biaya angkut barang bisa naik 10–25 persen, berdampak pada harga komoditas impor.
Dari sisi fiskal, jika harga minyak global naik dan nilai tukar rupiah melemah, maka risiko defisit APBN akan membesar. Defisit yang diproyeksikan 2,29 persen dari PDB dalam RAPBN 2024 bisa melebar menjadi 3 persen lebih. Ini berbahaya karena bisa memengaruhi persepsi risiko terhadap utang negara. Peringkat kredit pun bisa terancam turun jika tidak ada langkah konsolidasi fiskal.
Untuk menghadapi ancaman ini, strategi kebijakan Indonesia harus segera disesuaikan. Dalam jangka pendek, stabilisasi makro perlu menjadi prioritas. Bank Indonesia bisa menaikkan suku bunga acuan untuk menahan inflasi dan menjaga daya tarik aset keuangan domestik.
Di saat yang sama, Kementerian Keuangan perlu menyiapkan langkah-langkah penyesuaian subsidi BBM secara bertahap agar APBN tetap sehat. Mekanisme subsidi tepat sasaran berbasis data DTKS harus diperkuat.
Sementara itu, cadangan devisa yang per Januari 2024 mencapai US$145 miliar perlu dikelola secara hati-hati. Intervensi di pasar valas harus bersifat terukur agar tidak cepat habis. Pemerintah juga bisa menerbitkan surat utang tematik, seperti sukuk energi atau obligasi transisi untuk menutupi pembengkakan belanja energi.
Untuk jangka menengah, Indonesia harus segera mendiversifikasi sumber impor minyak dan gas. Ketergantungan terhadap kawasan Teluk terlalu tinggi. Pemerintah bisa memperkuat kerja sama energi dengan negara Afrika Barat, seperti Nigeria, Angola, atau bahkan mengintensifkan pembelian dari Rusia dan AS.
Di saat yang sama, pembangunan Strategic Petroleum Reserves (SPR) harus dipercepat. Saat ini Indonesia baru memiliki buffer stock BBM sekitar 20 hari, jauh di bawah negara-negara maju yang memiliki cadangan hingga 90 hari.
Transisi energi juga tidak bisa ditunda. Program B30 harus ditingkatkan menjadi B40 atau bahkan B50. Selain itu, pengembangan energi baru terbarukan (EBT), seperti surya, angin, dan panas bumi perlu akselerasi. Target bauran energi 23 persen pada tahun 2025 yang dicanangkan pemerintah masih jauh dari realisasi (baru sekitar 12 persen).
Jangka panjangnya, Indonesia harus memperkuat jalur pelayaran alternatif, seperti Selat Malaka dan Selat Lombok. Infrastruktur pelabuhan, keamanan laut, dan sistem logistik nasional harus diperkuat. Ketahanan energi dan pangan harus menjadi agenda utama. Penguatan diplomasi juga perlu dilakukan, baik dalam forum internasional, seperti G20 maupun dalam relasi bilateral dengan negara-negara penghasil energi.
Investasi di sektor hulu migas domestik juga harus digencarkan. Dengan cadangan minyak sekitar 3,2 miliar barel dan gas sekitar 100 TCF, Indonesia punya potensi besar untuk swasembada energi. Namun investasi di sektor ini masih stagnan karena masalah regulasi dan insentif fiskal.
Kebijakan fiskal juga harus bersifat antisipatif. Pemerintah perlu membangun dana ketahanan energi, seperti yang dilakukan Norwegia dengan Sovereign Wealth Fund-nya. Dengan cara ini, ketika harga energi melonjak, negara tidak goyah karena memiliki penyangga fiskal yang kuat.
Selain itu, penguatan sistem jaminan sosial dan bantuan langsung tunai juga menjadi kunci. Dengan data penerima bansos yang semakin akurat, melalui DTKS dan NIK, maka subsidi bisa diarahkan ke kelompok yang memang membutuhkan, saat harga energi naik.
Dalam situasi geopolitik global yang tidak menentu, Indonesia perlu memadukan pendekatan jangka pendek yang responsif dengan visi jangka panjang yang transformatif. Ketahanan energi, ketahanan fiskal, dan diplomasi strategis harus berjalan beriringan.
Penutupan Selat Hormuz mungkin hanya skenario ekstrem, tail risk, namun implikasinya nyata, luas, dan langsung, melalui kenaikan harga energi, tekanan inflasi, rupiah melemah, dan kenaikan biaya subsidi yang membutuhkan tindakan cepat dan terkoordinasi.
Dengan memadukan respons fiskal-moneter tegas, diversifikasi strategi energi dan pasokan, serta penguatan posisi maritim dan diplomatik, Indonesia dapat menyerap guncangan tersebut dan bahkan memanfaatkan momentum geopolitik untuk memperkuat ketahanan ekonominya jangka panjang.(ANTARA/Dr Aswin Rivai,SE,MM adalah pemerhati Ekonomi, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta)
Social Header