Oleh YURNALDI, Pemimpin Redaksi AjarDetik's.com
Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu daerah penghasil wartawan hebat di negeri ini. Sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang, banyak tokoh pers nasional lahir dari ranah ini. Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, Ani Idrus, PK Ojong, Rohana Kudus, Zulharman, Mochtar Lubis, Hamka, Marthias Duski Pandu, hingga banyak wartawan muda yang kini berkibar di media ternama, adalah buah dari tradisi literasi dan keberanian bersuara yang tumbuh kuat di Minangkabau.
Namun ironisnya, saat digelar lomba jurnalistik tingkat SMA/SMK/MAN, terutama kategori penulisan feature,pada Festival Lomba Seni & Sastra Siswa Nasional (FLS3N) tahun 2025 –dan rutin digelar tiap tahun, jumlah pesertanya justru memprihatinkan. Di tengah sejarah panjang Sumatera Barat sebagai tanah kelahiran wartawan-wartawan besar, generasi muda tampak kurang tertarik — atau barangkali kurang diberi ruang dan pembinaan yang layak — untuk menekuni dunia jurnalistik.
Pertanyaannya, di mana letak persoalannya?
Bukan soal dana. Nyaris semua sekolah memiliki alokasi anggaran yang bisa digunakan untuk kegiatan literasi dan pengembangan minat bakat, termasuk jurnalistik. Tapi seringkali, persoalannya terletak pada prioritas. Literasi dan jurnalistik belum dipandang penting oleh sebagian besar sekolah. Fokus lebih banyak diberikan pada lomba-lomba akademik, olahraga, atau seni yang dianggap lebih “populer” dan mudah diukur prestasinya.
Selain itu, tak semua sekolah memiliki guru pembina yang memahami seluk-beluk jurnalistik, apalagi penulisan feature yang membutuhkan teknik dan kedalaman tersendiri. Padahal, tanpa pendampingan yang tepat, sulit berharap siswa bisa menghasilkan karya jurnalistik yang layak dilombakan.
Dulu, tahun 1985 Sumatera Barat pelopor Koran Masuk Sekolah (KMS) di Indonesia. Harian Singgalang setiap edisi Selasa membuat suplemen KMS empat halaman. Dinamika sekolah menjadi menggeliat. Bahkan era KMS itu melahirkan banyak wartawan hebat dan berkiprah di media terkemuka, antara lain Yulfian Azrial (Majalah Properti Trader dan Tabloid Kavling), Yurnaldi (Kompas), Syofiardi BJB (The Jakarta Post), Budi Putra (Tempo).
Yurnaldi adalah penulis buku-buku jurnalistik dan jadi referensi di banyak perguruan tinggi dan mahasiswa. Ini dua di antaranya.Lebih jauh, hubungan antara sekolah dan komunitas wartawan di Sumatera Barat juga terasa renggang. Dulu, kunjungan redaksi, pelatihan jurnalistik pelajar, atau workshop menulis bersama jurnalis senior adalah hal yang lumrah. Kini, kegiatan seperti itu mulai jarang terdengar.
Di sisi lain, budaya literasi di kalangan pelajar memang sedang diuji. Gempuran media sosial dan konten hiburan instan membuat aktivitas membaca dan menulis, yang seharusnya menjadi bagian dari tradisi intelektual di Minangkabau, kian terpinggirkan. Majalah dinding banyak yang mati suri, buletin sekolah menghilang, dan tak sedikit perpustakaan yang lebih jadi pajangan ketimbang ruang tumbuhnya ide-ide segar.
Jika kondisi ini dibiarkan, kita patut khawatir, Sumatera Barat hanya akan dikenang sebagai daerah penghasil wartawan hebat di masa lalu, tanpa regenerasi yang kuat untuk masa depan.
Oleh sebab itu, sudah saatnya sekolah, dinas pendidikan, organisasi profesi wartawan, dan para pegiat literasi bersinergi. Dana sudah ada, tinggal kemauan yang perlu ditegaskan. Program pelatihan jurnalistik pelajar, kompetisi yang rutin dan berkualitas, serta keterlibatan aktif para jurnalis senior dalam mendampingi siswa, adalah investasi penting untuk memastikan tradisi hebat ini tidak terputus.
Karena regenerasi wartawan hebat tidak lahir dari ruang hampa. Ia butuh kesadaran kolektif, kemauan, dan komitmen bersama.
Social Header