AJARDETIKS.COM -- Langkah Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, yang menolak pengadaan mobil dinas baru senilai hampir Rp3 miliar –sebagaimana diberitakan alinianews.com — patut diapresiasi, tidak hanya sebagai tindakan penghematan, tetapi juga sebagai pernyataan moral: bahwa kekuasaan bukan untuk dimanjakan, melainkan untuk digunakan sebijak mungkin demi kemaslahatan rakyat.
Di tengah maraknya belanja fasilitas yang sering kali tidak sensitif terhadap kondisi riil masyarakat, keputusan Hasto justru mengarah sebaliknya—ia memotong pengeluaran yang bersifat simbolik demi mengalokasikannya kepada kebutuhan dasar warga: pengelolaan sampah yang lebih efektif. Ini bukan hanya soal memilih antara mobil mewah dan gerobak sampah, tapi tentang arah berpikir seorang pemimpin yang berorientasi pada manfaat konkret dan jangka panjang.
Keberanian ini menampar wajah birokrasi yang kerap menjadikan kenyamanan pribadi sebagai prioritas anggaran, bahkan di saat rakyat masih berjuang dengan kebutuhan dasar. Dengan mengalihkan anggaran ke 600 unit gerobak sampah yang tersebar ke seluruh RW, Hasto tidak hanya menyelamatkan anggaran publik, tetapi juga memperkuat partisipasi warga dalam menjaga kebersihan kota—sebuah langkah preventif yang lebih murah ketimbang membiarkan masalah lingkungan membesar dan menyedot dana penanganan.
Sikap Hasto juga menolak furnitur rumah dinas baru adalah pengingat penting bahwa integritas tidak harus dikumandangkan dengan slogan, cukup dengan tindakan konkret yang membumi. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidak kehilangan wibawa dengan hidup sederhana—justru sebaliknya, ia mendapatkan legitimasi moral dari publik.
Sudah saatnya kepala daerah lain belajar dari Yogyakarta: bahwa menjadi pejabat bukan berarti memesan kenyamanan, melainkan menunaikan tanggung jawab. Bahwa anggaran publik bukan alat memelihara gengsi, melainkan sarana menyejahterakan rakyat. Dan bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari keberanian untuk berkata: “Saya cukup dengan yang ada, berikan lebihnya untuk rakyat.”
Jika langkah ini menjadi budaya baru di birokrasi kita, maka sesungguhnya kita sedang menyongsong babak baru dalam tata kelola pemerintahan—di mana logika akal sehat mengalahkan ego kekuasaan.(Yurnaldi)

Social Header