AJARDETIKS.COM — Ketika pemerintah melalui BPJS Kesehatan kembali menegaskan 21 jenis penyakit dan layanan yang tidak ditanggung, sebagian masyarakat terkejut. Bukan karena baru mengetahui adanya batasan tersebut, tetapi karena semakin terasa bahwa BPJS—yang sejak awal digagas sebagai jaring pengaman kesehatan nasional—perlahan seperti bergeser menjadi sekadar perusahaan asuransi.
Memang benar, negara perlu menjaga keberlanjutan fiskal. Pengelolaan dana BPJS tidak boleh jebol karena pembiayaan layanan yang tidak relevan atau manipulatif. Namun, dengan dalih efisiensi dan aturan normatif, jangan sampai semangat keadilan sosial justru tergerus dalam praktiknya.
Mari kita cermati lebih dalam. Beberapa pengecualian memang logis, seperti layanan estetika, pengobatan percobaan, atau tindakan yang berkaitan dengan konsumsi alkohol dan narkoba. Tapi sejumlah poin lainnya patut dikritisi. Misalnya, penolakan terhadap layanan infertilitas—padahal bagi banyak pasangan, hak untuk memiliki keturunan adalah bagian dari hak kesehatan reproduktif. Atau bagaimana nasib korban kekerasan seksual yang perawatannya dianggap di luar jaminan karena “akibat tindak pidana”?
Lebih pelik lagi, pengecualian atas penyakit akibat kecelakaan kerja atau lalu lintas yang seharusnya dijamin program lain. Di atas kertas memang terjamin, tapi praktik di lapangan kerap menunjukkan masyarakat yang terlantar di antara tumpang-tindih administrasi lembaga. Koordinasi yang lemah antarpenyelenggara jaminan membuat rakyat kecil kembali menjadi korban.
Celakanya, kebijakan ini sering tidak diikuti dengan sosialisasi yang memadai. Di puskesmas, rumah sakit, hingga call center BPJS sendiri, kerap terjadi disinformasi soal hak dan kewajiban peserta. Alhasil, publik kebingungan, frustrasi, dan merasa dikhianati oleh sistem yang katanya berpihak pada mereka.
BPJS bukan asuransi elite. Ia adalah warisan reformasi untuk menjamin setiap warga—kaya atau miskin—mendapat akses pelayanan kesehatan yang layak. Bila aturan pengecualian makin kaku tanpa ruang kemanusiaan, bila pelayanan makin birokratis tanpa hati nurani, maka sesungguhnya kita sedang mengingkari cita-cita jaminan sosial itu sendiri.
Pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan ini secara berkala, menyertakan masukan dari masyarakat sipil dan pasien. Jangan biarkan semangat jaminan sosial ini dikerdilkan menjadi daftar tagihan dan pengecualian belaka.
Kesehatan adalah hak, bukan hadiah. BPJS harus tetap hadir sebagai pelayan rakyat, bukan sekadar pengatur klaim. (YURNALDI)
Social Header