Oleh YURNALDI
Puisi sering dianggap dunia yang penuh metafora, jauh dari keseharian. Namun lewat “Serenade Perempuan Embun”, sastrawan Eddy Pranata PNP justru mengajak kita melihat bahwa cinta tidak hanya hidup dalam kata-kata agung, tetapi juga dalam hal-hal sederhana: makan bersama, liburan, bahkan dalam pelukan sebelum tidur.
Berikut kutipan puisi Eddy Pranata yang dipublikasikan melalui akun media sosialnya, facebook:
Eddy Pranata PNP
SERENADE PEREMPUAN EMBUN
kita telah bangun rumah di lereng bukit
dengan pondasi dan ornamen
metafora, imaji, ikrar puisi
serta suka cita bahwa langit-bumi
kasih menyerbu; seperih apa pun
: "engkau sedetik pun jangan lepaskan pelukan!"
di hari-hari libur
berselancar di laut
lalu santap seafood
atau keliling kota
lalu ke nasi kapau, dan
di sore lain; sate padang
: "aku selalu senang bila setiap makan disuapi, setiap tidur erat kaupeluk!"
au, perempuan embun
sehatmu, sakitmu
tawamu, tangismu
telah dalam ruang jiwa
telah sublim dalam puisi
: "kita rayakan setiap pertemuan dengan arak cinta!"
matamu berbinar
langkahmu di jalan benar
tiada melupakan
dan elus segala kenangan
: "beri aku puisi setiap hari, setiap rinduku dan rindumu menderu!"
maka lereng bukit senantiasa menerbangkan kabut
maka laut dan langit
mendendangkan elegi kesetiaan.
Jaspinka, 18 Oktober 2025
Judul puisi ini sudah memberi bayangan suasana. Serenade adalah lagu penghormatan atau persembahan yang biasanya dilantunkan dengan lirih. Sementara perempuan embun menghadirkan imaji kesejukan, kemurnian, sekaligus kerapuhan. Dari awal, pembaca disiapkan untuk menyelami kisah cinta yang puitis namun tetap membumi.
Rumah di Lereng Bukit
Puisi dibuka dengan imaji rumah di lereng bukit. Rumah ini unik, karena pondasinya bukan batu bata atau semen, melainkan “metafora, imaji, ikrar puisi.” Dengan begitu, rumah itu adalah simbol kehidupan bersama yang dibangun di atas bahasa dan komitmen, bukan hanya materi.
Namun, rumah di lereng bukit juga berarti risiko. Lereng rawan longsor, sama seperti cinta yang selalu rentan pada guncangan. Tetapi justru di situ keberanian diuji. Bahwa mereka berani membangun di lereng menunjukkan keseriusan menjaga cinta meski penuh tantangan.
Cinta dalam Keseharian
Yang menarik, penyair tidak terus-menerus bermain dengan metafora besar. Ia membawa pembaca ke detail sederhana: berselancar, makan seafood, keliling kota, mencicipi nasi Kapau atau sate Padang. Aktivitas sehari-hari itu dijadikan puisi.
Cinta, kata penyair, hadir dalam gestur kecil: disuapi ketika makan, dipeluk erat sebelum tidur. Di sini kita melihat bagaimana cinta yang sejati tidak hanya mengandalkan janji manis atau perayaan mewah, tetapi juga pada kebersamaan sederhana. Suapan itu, pelukan itu—semua adalah ritus kecil yang membuat cinta bertahan.
Perempuan Embun
Tokoh utama dalam puisi ini adalah perempuan embun. Embun adalah lambang kesegaran, kelembutan, sekaligus kefanaan. Ia hanya hadir sejenak di pagi hari lalu menghilang. Namun kehadirannya yang singkat itulah yang membuatnya berharga.
Bagi penyair yang karyanya tersebar pada lebih 100 buku antologi puisi bersama ini, perempuan embun adalah inspirasi. Ia tidak hanya hadir dalam tubuh dan perasaan, tetapi juga “sublim dalam puisi.” Dengan kata lain, keberadaannya telah menyatu ke dalam karya, menjadi bagian dari ruang batin penyair.
Permintaan sederhana—“beri aku puisi setiap hari”—mengisyaratkan bahwa cinta mereka dijaga lewat bahasa. Puisi di sini bukan sekadar karya seni, tetapi doa, pengikat rindu, dan cara menjaga kehangatan.
Elegi Kesetiaan
Puisi ditutup dengan gambaran alam: lereng bukit, laut, langit, kabut. Semua elemen itu menjadi saksi perjalanan cinta. Kesetiaan diibaratkan elegi, yakni nyanyian lirih yang mungkin berisi duka, tetapi justru menguatkan cinta itu sendiri.
Dengan kata lain, kesetiaan bukan hanya tentang kegembiraan, tetapi juga tentang keberanian bertahan di tengah luka dan risiko. Seperti rumah di lereng bukit, cinta bisa saja goyah, tetapi selalu bisa dipertahankan dengan komitmen.
Membumi dan Dekat
Membaca “Serenade Perempuan Embun” membuat kita sadar bahwa cinta sejati tidak selalu hadir dalam janji besar atau kata-kata manis. Ia tumbuh dalam keseharian—dalam liburan sederhana, dalam makanan khas daerah, dalam suapan dan pelukan.
Di balik puisi yang indah ini, ada pesan sederhana: kesetiaan bukan sesuatu yang jauh di langit. Ia ada di meja makan, di ruang tidur, di perjalanan bersama, di momen kecil yang kita rayakan setiap hari.
Itulah yang membuat puisi ini hangat sekaligus dalam. Ia mampu berbicara kepada siapa pun, baik pembaca yang terbiasa dengan dunia sastra maupun mereka yang hanya mencari secuil makna tentang cinta.
Tiga penyair/sastrawan Indonesia, Asril Koto, Eddy Pranata PNP, dan Yurnaldi saat menghadiri acara Deklarasi Hari Puisi Indonesia Tahun 2016 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, DKI Jakarta. (Foto dok Yurnaldi)
Eddy Pranata PNP, Ketua Jaspinka— Jaringan Sastra Pinggir Kali, Cirebah, Banyumas; peserta Pertemuan Penyair Nusantara XIII September 2025 di Jakarta dan penerima penghargaan/ bantuan pemerintah dari Badan Bahasa tahun 2025 atas dedikasinya berkarya sastra terus menerus sejak tahun 1980 s/d 2025-- lewat “Serenade Perempuan Embun” berhasil menghadirkan wajah cinta yang dewasa. Cinta yang bukan sekadar euforia, tetapi juga kesediaan merawat hal-hal kecil, menanggung risiko, dan menjaga kesetiaan.
Puisi ini mengajarkan bahwa cinta tidak harus ditulis dengan kata-kata besar. Ia bisa hadir dalam sepiring nasi kapau, dalam sate Padang yang disantap sore hari, atau dalam pelukan yang erat setiap malam. Dari situlah, serenade cinta lahir dan terus bernyanyi.
Padang, Oktober 2025.
(Yurnaldi, esais, sastrawan, dan wartawan utama. Redaktur Sastra Tamu harian Haluan (1994), editorial Desk Humaniora dan Desk Kompas Minggu harian KOMPAS (1995-2011), Konsultan Konten Media Haluan Media Grup (2011), Wapemred harian Vokal Riau (Pekanbaru, 2012), Pemred Harian Vokal Sumsel (Palembang, 2012-2013), Pemred harian Riau Hari Ini (Dumai, 2013-2014). Kini Pemred ajardetiks.com, indeksnews.com, harianmasyarakat.com, dan pemred sejumlah media lainnya. Yurnaldi di bidang sastra tidak hanya sebatas berkarya dengan sejumlah prestasi, tetapi juga mentor pelatihan menulis karya sastra, juri lomba menulis karya sastra, juri baca puisi, menginisiasi kegiatan sastra, editor buku sastra, memberi testimoni buku sastra, mengikuti banyak acara sastra dan editorial/wartawan sastra budaya, serta menulis esai sastra sejak 1985 sampai sekarang, Penerima Penghargaan/Apresiasi Bantuan Pemerintah dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar Menengah Tahun
2025 atas dedikasinya berkarya sastra terus menerus sejak 41 tahun terakhur s/d 2025, tinggal di Padang, Sumatera Barat.)


Social Header